Hukum Hak Cipta melindungi karya intelektual dan
seni dalam bentuk ekspresi. Ekspresi yang dimaksud seperti dalam bentuk tulisan
seperti lirik lagu, puisi, artikel atau buku, dalam bentuk gambar seperti foto,
gambar arsitektur, peta, serta dalam bentuk suara dan video seperti rekaman
lagu, pidato, video pertunjukan, video koreografi dll,
Definisi lain yang terkait adalah Hak Paten,
yaitu hak eksklusif atas ekspresi di dalam Hak Cipta di atas dalam kaitannya
dengan perdagangan. Regulasi di Amerika Hak Cipta diberikan seumur hidup
pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia, sedangkan paten
berlaku 20 tahun. Saya tidak tahu hukum di Indonesia apakah sama atau tidak.
Hak Cipta direpresentasikan dalam tulisan dengan simbol © (copyright) sedangkan
Hak Paten disimbolkan dengan ™ (trademark). Hak Paten yang masih dalam proses pendaftaran
disimbolkan ® (registered). IANAL, so CMIIW
dude!
Hukum Hak Cipta bertujuan melindungi hak pembuat
dalam mendistribusikan, menjual atau membuat turunan dari karya tersebut.
Perlindungan yang didapatkan oleh pembuat (author) adalah perlindungan terhadap
penjiplakan (plagiat) oleh orang lain. Hak Cipta sering diasosiasikan sebagai
jual-beli lisensi, namun distribusi Hak Cipta tersebut tidak hanya dalam
konteks jual-beli, sebab bisa saja sang pembuat karya membuat pernyataan bahwa
hasil karyanya bebas dipakai dan didistribusikan (tanpa jual-beli), seperti
yang kita kenal dalam dunia Open Source, originalitas karya tetap dimiliki oleh
pembuat, namun distribusi dan redistribusi mengacu pada aturan Open Source.
Hak Cipta tidak melindungi peniruan, ide, konsep
atau sumber-sumber referensi penciptaan karya.
Masalah penjiplakan atau pembajakan memang tak
pernah selesai, menjadi sangat rumit ketika semuanya berkaitan dengan uang atau
meja hijau. Contoh kecil adalah misalnya jika saya menyanyikan lagu yang
ciptaan orang lain di sebuah panggung dan penonton membayar saya, saya bisa
dikatakan menjiplak dan mengambil untung. Kondisi ini jelas terjadi di
mana-mana, banyak grup musik yang meniti karir dari pnggung kepanggung menarik
uang dengan menjiplak karya orang lain. Bahkan jika penampilan karya dalam
bentuk gubahan, tetap dikatakan menjiplak karena itu bersifat karya turunan.
Saya pun termasuk dalam rantai pembajakan,
misalnya men-download musik-musik dalam format mp3 atau mengubah
format CD Audio ke dalam mp3 dan memberikannya kepada orang lain. Dalam kasus
ini saya tidak menjiplak, tapi lebih kepada ‘konsumen para pembajak’. Tugas
pemerintahlah melalui hukum mengurangi rantai pembajakan ini, dan jelas bisa
dikurangi jika yang dibasmi adalah mata rantai yang lebih tinggi (pengedar,
terutama dalam volume yang besar), bukan pengguna akhir. Atau misalnya membeli
buku, saya tidak membajak karena nyaris tidak ada rantai pembajakan buku yang
saya konsumsi. Sewaktu kuliah dulu pengajar mewajibkan membaca text-book
berbahasa Inggris dan sangat mahal, sedangkan di perpustakaan kampus hanya ada
dalam itungan jumlah jari dalam satu tangan, tentunya sangat repot, akhirnya
buku tersebut difotokopi ramai-ramai. Buku lain yang mudah didapat tanpa
membajak tentunya saya beli. Saya salah tapi tak bisa menyalahkan diri sendiri.
Kurang lebih keadaan hukum perdata yang ada di Indonesia memang seperti itu.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar