Minggu, 27 Februari 2011

GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA

Mengingat kebijakan-kebijakan makroekonomi tak luput dari keputusan-keputusan politik, maka relevan untuk mengawali bahasan keadaan ekonomi pada masa sebelum orde baru dengan merujuk sepintas pada gejolak-gejolak politik yang berlangsung selama masa itu. Secara politis, kurun waktu sejak kemerdekaan hingga tahun 1965 dapat dipilih menjadi 3 periode yaitu :
1. Periode 1945-1950
2. Periode demokrasi parlementer (1950-1959)
3. Periode demokrasi terpimpin (1959-1965)
Periode demokrasi Parlementer juga dikenal sebagai periode demokrasi liberal. Periode ini berakhir pada tanggal 5 juli 1959, ketika Soekarno menerbitkan sebuah dekrit yang menyatakan Indonesia kembali ke UUD 1945. Sejak itu kancah politik dalam negeri berada dalam suasana demokrasi terpimpin. Periode demokrasi terpimpin ini dikenal dengan sebutan periode orde lama. Sepanjang kurun 1945-1965 dimana keadaan politik sangat labil. Mudah dibayangkan betapa perekonomian nyaris tak sempat terperhatikan . Pemerintah jatuh bangun, kabinet silih berganti. Bahkan dalam waktu yang sangat singkat antara bulan November 1945 hingga desember 1949 terdapat lima pemerintahan. Sementara itu dalam demokrasi parlementer (September 1950- juli 1959) terdapat tujuh pemerintahan. Antara bulan desember 1949 dan September 1950, konsep kenegaraan Indonesia bercorak federasi, sedangkan pemerintahan bersifat parlementer, kabinet dipimpin oleh Mohammad Hatta yang ketika itu juga sebagai wakil presiden. Untuk lebih jelasnya ada 8 kabinet dalam sejarah perekonomian Indonesia pada masa sebelum orde baru yaitu :
1. Kabinet hatta, Desember 1949- September 1950
Kabinet hatta merupakan satu-satunya kabinet dalam sejarah politik Indonesia yang dipimpin oleh seorang pakar ekonomi profesional . Konsentrasi utama dari kabinet singkat ini adalah penyatuan politisi wilayah-wilayah Indonesia kedalam negara Republik Indonesia Serikat, namun perhatiannya terhadap masalah ekonomi sangat cukup besar.
Tindakan paling penting yang dilakukan kabinet ini adalah reformasi moneter melalui devaluasi mata uang secara serempak dan pemotongan (dalam arti hafiah) uang yang beredar pada bulan Maret 1950. Yang dimana mata uang Indonesia adalah gulden. pemotongan uang ini melibatkan pengguntingan menjadi separuh atas semua uang kertas keluaran De Javasche Bank yang bernilai nomial lebih dari 2,50 Gulden Indonesia sampai dengan 22 Mei 1951, saat De Javasche bank dinasionalisai menjadi Bank Indonesia, dan pengurangan seluruh deposito bank yang bernilai di atas 400 gulden menjadi separohnya. Sebagai ganti rugi akibat tindakan yang terakhir ini, kepda pemegang depositonya diberikan obligasi jangka panjang pemerintah.

2. Kabinet Natsir, Septemer 1950 – Maret 1951
Kabinet Natsir merupakan kabinet pertama dalam Negara kesatuan Republik Indonesia. Dimana Sjafruddin Prawiranegara sebagai menteri keuangan serta Sumitro Djojohadikusumo sebagai Menteri Perdagangan dan Industri . kesulitan neraca pembayaran dapat diatasi dengan adanya ekspor, selain itu juga menaikan penerimaan pemerintah. Impor diliberalisasikan sebagai upaya menekan tingkat harga-harga umum didalam negeri. Kredit untuk perusahaan asing diperketat sedangkan utuk perusahaan pribumi diperlunak/dipermudah dan hasil dari kebijakan fiskal yang ketat dan penerimaan yang tinggi sempat menghasilkan surplus anggaran yang cukup besar pada tahun 1951. Pada kabinet ini juga pertama kali terumuskan suatu perencanaan pembangunan, yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). Kabinet ini tidak sempat melaksanakan rancangannya dikarenakan sudah jatuh terlebih dahulu sehingga yang melaksanakannya adalah cabinet masa berikutnya.

3. Kabinet Sukiman, April 1951 – Februari 1952
Masa pemerintahan Sukiman mencatat beberapa peristiwa penting dalam sejarah perekonomian Indonesia. Diantaranya adalah nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (22 Mei 1951) dan memburuknya situasi fiskal. Ekspor mulai menurun akibat boom Korea. System kurs berganda (multiple exchange rate system) yang telah menjebak system perekonomian sejak tahun 1950 dihapuskan atas saran hjalmar Schacht yang diundang oleh Smitro Djojohadikusumo sebagi penasehat ekonomi. Untuk surplus anggaran yang dihasilkan semasa kabinet Natsir berbalik menjadi defisit besar dimasa kabinet Sukiman , kabinet ini hanya bertahan hingga bulan februari tahun 1952, menyusul isu penandatangan Persetujuan Keamanan Bersama dengan Amerika Serikat.
4. Kabinet Wilopo, April 1952 – Juni 1953
Tak sampai dua bulan setelah berakhirnya kabinet sukiman, kemudian wilopo menjadi pemimpin kabinet baru. Kabinet Wilopo memperkenalkan konsep Anggaran berimbang (balanced budget) dalam APBN. Pekerjaan besar ekonomi besar yang dilakukan semasa wilopo adalah rasionalisasi angkatan bersenjata melalui modernisasi dan pengangguran personil . prestasi lainnya adalah keberhasilan kabinet ini menekan pengeluaran pemerintah, lebih dari 25% pengeluran total pada tahun sebelumnya. Akan tetapi cadangan devisa merosot tajam.

5. Kabiet Ali I, Agustus 1953 – Juli 1955
Pada masa ini diwarnai oleh devisit baik dalam anggaran belanja maupun dalam neraca pembayaran. Mentri urusan perekonomian cabinet ini dijabat oleh Iskaq Tjokroadisurjo, tokoh sayap kii partai nasional Indonesia dan merupakan penganjur indonesianisasi yang paling gigih. Dimana ia sangat melindungi importer pribumi , sangat ingin mengubah perekonomian dari struktur kolnial menjadi nasional. Sekitar lima bulan ia menjabat, jumlah pengusaha nasional yang tergolong kedalam “importer Benteng” membengkak luar biasa dari 700 hingga 4300 importer.akibat kegagalan fiscal Ali mengganti beberapa anggota utama cabinet seperti Iskaq Tjokroadisurjo.

6. Kabinet Burhanuddin, Agustus 1955 – Maret 1956
Kabinet ini dikenal sebagai Kabinet Interim, yang mengendalikan pemerintahan sampai pemilihan umum yang dijadwalkan pada bulan September 1955 dan sampaiterbentuknya parlemen baru hasil pemilihan. Tindakan umum yang dilakukan adalah liberalisasi impor, kebijakan pembayaran dimuka atas impor ditingkatkan, laju uang beredar berhasil ditekan, berkurang sekitar 5% ( senilai Rp 600 juta ), begitu pula harga barang ekspor impor yang paruh pertama tahun 1955 naik sekitar 8%, merosot 15%, nilai rupiah sempat naik 8% terhadap emas. Kabinet ini dinilai berhasil melaksanakan RUP. Cabinet ini pulalah yang membatalkan persetujuan meja bundar yang pada galibnya berusaha mengekalkan system ekonomi colonial melalui dominasi perusahaan-perusahaan belanda dalam perekonomian.

7. Kabinet Ali II, April 1956 - Maret 1957
Cabinet ini merupakan cabinet pertama hasil pemilihan umum pertama. Sertifikat pendorong ekspor yang sebelumnya sempat dibekukan dicairkan kembali. Utang pada Belanda dihapuskan, semntara pemerintah mendapat bantuan US $ 55 juta dari dana moneter internasional (IMF). Karena program Benteng tidak mendapat perhatian lagi maka pada tahun 1957 program iu bahkan secara resmi dihentikan oleh presiden Soekarno dan dicanangkan sebuah rencana pembangunan baru dengan Rencana Lima Tahun 1956-1960. RLT ini dirancang sejak tahun 1952 oleh Biro Perancang Nasional yang dipimpin oleh Ir Djuanda Kartawidjaja, setelah dirumuskan pada bulan Mei 1956 kemudian disetuji pada bulan September tahun yang sama, jadi RLT dirintis selama lebih dari empat tahun dengan 5 kabinet. RLT lebih terinci, eksplisit, dan teknis operasional. Rencana ini bertujuan untuk mendorong industry dasar, jasa-jasa pelayanan umum dan sector publik.

8. Kabinet Djuanda, Maret 1957 – Agustus 1959
Dari seorang menteri perencanaan dalam cabinet Ali II , pada tahun ini Djuanda menggantikan Ali II sebagai ketua kabinet. Kabinetnya disebut Kabinet Karya, karena dibentuk bukan berdasarkan pertimbangan politis kepartaian. Kabinet ini juga disebut Kabinet Kerja Darurat Ekstra Parlementer.selama 2 tahun kepemimpinanya perekonomian kita bersifat terpimpin. Instrument ekspor berupa sertifikat pendorong ekspor (SPE) diganti/disederhanakan menjadi Bukti Ekspor (BE). Pada bulan Desember 1957 dilakukan pengambilalihan (nasionalisasi) perusahaan Belanda. Menurut laporan pada tahun 1958 pendapatan nasional rill merosot lebih kurang 13 %. Kesulitan untuk mengimpementasikan rencana pembangunan rancangan sendirinya, juga karena dilakukan reorganisasi politis bulan juli 1959, yakni kembali ke UUD 1945. Saat itu presiden mengangkat dirinya menjadi perdana menteri dan mencanangkan “Sosialisme ala Indonesia”.


sumber : dumairy, perekonomian indonesia